HAI KENANGAN, YUK KENANGIN (BELAJAR IKHLAS)
Beberapa hari belakang aku memang mencoba agar bisa belajar tentang keikhlasan. Satu kata yang begitu mudah untuk diucap namun sulit untuk dilakukan. Yeah, minggu-minggu ini memang terasa cukup berat. Waktu berjalan terasa begitu cepat. Sedang target-target masih belum terselesaikan. Kenyataannya waktu memang tak berubah, tetap 24 jam seperti biasanya. Hanya saja aku mulai Kembali addict dengan social media. Mengecek hal-hal yang sebenarnya kurang berfaedah. Tak terasa, menit, detik berlalu. Kala pagi, eh tiba-tiba sudah senja. Tak terasa, begitu seterusnya.
Lewat
rekomendasi buku dari seorang influencer, aku berambisi untuk memilikinya. Ketika
ada diskon, gercep saja aku beli. Judulnya “The Power Of Quantum Ikhlas For
Teens” karya Erbe Sentanu. Di halaman awal aku mulai terkejut dengan bab
pembuka yang luar biasa. Kelemahanku saat membaca buku adalah ingin cepat
selesai tapi cepat lupa apa yang dibahas di buku tersebut. Tapi sebaliknya, aku
juga berusaha agar tidak berfokus pada cepat menyelesaikan satu buku untuk
dibaca. Aku coba pahami, coba di review lagi. Tapi akhirnya sudah beberapa
bulan, bukunya belum tamat juga, haha.
Ah entahlah,
mungkin ini adalah salah satu random writing-ku setelah sekian lama
tidak menulis. Iya, karena lama tidak menulis rasanya kaku. Mungkin saja apa yang
aku tulis di judul bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang ada di isi. Tapi aku
selalu berharap dan berdo’a agar apa yang aku tulis masih memiliki makna yang
bermanfaat bagi siapa saja. Kali ini, aku hanya ingin tanganku bisa menari-nari
di atas keyboard dengan bebas. Tidak peduli dengan ketentuan-ketentuan
menulis di karya ilmiah. Ah sudahlah, Sekarang mari kita mulai.
Tentunya ada
banyak sekali memori yang memaksa kita agar bisa belajar tentang ikhlas,
begitupun dengan diriku. Saat saudaraku sekolah SD lebih dulu dan sebenarnya
aku juga ingin sekolah tapi orang tuaku belum mengizinkan aku belajar ikhlas. Aku
kira saat pengumuman rangkin di SD akulah yang akan meraih rangkin pertama,
tapi kenyataannya tidak. Aku memang terlalu percaya diri atau lebih tepatnya
songong, sok pinter. Tidak jadi juara 1, ah sudahlah aku ikhlas.
Ini adalah
masa-masa terberatku, insiden kecelakaan yang sontak membuat hidupku berubah
180 derajat. Beraaat sekali rasanya. Tapi pada akhirnya, aku juga bersyukur dan
ikhlas. Jika tanpa kejadian itu, belum tentu aku bisa menjadi pribadi yang
sebaik diriku saat ini (etdah, baik apaan woy, barbar aslinya… maafin☹
). Alhamdulillah. Menjalani masa-masa
SMP yang tidak begitu menyenangkan, banyak drama, tiba-tiba punya haters dan
sulit sekali dijelaskan dengan runut. Tapi pada akhirnya juga bisa terlewati.
Mungkin bisa
dikatakan bahwa inI merupakan masa-masa bahagiaku. Bukan karena mendapat
seorang kekasih, bukan :D tapi karena di masa ini aku merasa menjadi manusia. Manusia
yang sedikit berdampak, manusia yang dianggap manusia. Meski kadang rasa “benci”
pada diri sendiri itu muncul karena cemoohan orang lain. Tapi aku sangat bersyukur,
karena pada akhirnya dengan rasa sakit itulah aku belajar untuk mengelola
emosi, belajar untuk ikhlas. Lalu, masa apakah itu? Yup SMK. Selain bisa
menjadi siswa pada umunya, aku juga senang karena bisa menjadi salah satu pengurus
OSIS, aktif di beberapa ekskul seperti karate, jurnalis dan pramuka. Sangat menyenangkan,
I really grateful to Allah
Comments
Post a Comment